Senin, 15 April 2013

Belajar Logika dan Matematika Anak

Belajar matematika dan logika bukan hanya tentang lembar kerja dan mengerjakan soal tertulis. Belajar matematika jauh lebih luas dari itu semua. Matematika & logika ada di mana-mana, di dalam keseharian. Bangun tidur kita melihat dan membaca jam. Bagian rumah kita dikelompokkan menurut fungsinya. Ketika memasak nasi kita memperkirakan jumlah beras yang dimasak. Keluar rumah kita memperkirakan jarak tempuh dan waktu perjalanan. Naik kendaraan kita menghitung ketersediaan bahan bakar. Berbelanja kita melakukan transaksi uang. Dan sebagainya. Dengan pemahaman bahwa matematika ada di mana-mana, kita tak perlu merasa takut dan trauma terhadap matematika. Matematika bisa dipelajari anak dengan cara menyenangkan, melalui proses informal yang terjadi sehari-hari. Beberapa contoh sederhana kegiatan belajar untuk bayi dan balita untuk belajar logika & matematika, antara lain: 1. Memahami Sebab Akibat Proses belajar tentang sebab-akibat dipelajari anak secara alami oleh anak sejak bayi. Ketika dia menangis, orangtuanya datang. Ketika dia tersenyum, orang yang di hadapannya membalas senyum. Orangtua dapat meningkatkan pemahaman anak mengenai sebab-akibat melalui peristiwa sehari-hari, misalnya: menekan saklar membuat lampu menyala/mati, menekan tombol/remote control untuk menyalakan/mematikan TV, memutar kran untuk menyalurkan/mematikan air di bak mandi, dan sebagainya. Selain itu, proses belajar logika sebab-akibat juga dipelajari anak dalam nilai (values) tentang apa yang boleh/tidak boleh, apa yang bagus/jelek. Dari mana anak belajar? Dari respon yang diberikan orangtua (tersenyum, senang, memuji, cuek, marah) terhadap hal-hal yang dilakukan anak. Dalam konteks penanaman nilai dan belajar logika, penting bagi orangtua untuk bersikap perhatian dan tidak cuek terhadap hal-hal yang dilakukan anak. Persetujuan (senyum, pujian, perhatian, dll) atau ketidaksetujuan (penolakan, teguran, kemarahan, dll) bukan hanya penting untuk memperjelas nilai-nilai yang dibangun pada anak, tetapi juga berfungsi sebagai stimulus anak dalam pengembangan kecerdasan logikanya. 2. Menghitung (counting) Kegiatan menghitung benda-benda yang bisa dipersepsi secara fisik (dipegang, dilihat) oleh anak adalah pintu masuk bagi anak untuk belajar menghitung (counting). Proses ini diserap anak melalui pengamatannya terhadap kegiatan yang dilakukan orangtua bersamanya. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk mengajak anak mengobrol, menceritakan/menyuarakan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Sambil bermain dan mengobrol, orangtua menghitung mata, jari, atau benda-benda di sekitar anak dengan suara keras. Anak mungkin belum mengerti tentang lambang angka, tetap dia akan mencerna proses berhitung yang sering didengarnya. Menyuarakan dengan keras hitungan 1, 2, 3, dst yang berhubungan dengan benda/hal sehari-hari akan membuat anak terbiasa mendengarkan dan menyerap proses berhitung, yang akan bermanfaat seiring perkembangan usia dan kesiapan otaknya. Seiring perkembangan usia anak, kegiatan menghitung (counting) ini bisa diterapkan pada benda-benda yang ada di sekitar anak. 3. Mengenal Angka Sebagaimana anak belajar tentang nama-nama benda yang ada di sekitarnya, yang dimulai dengan benda-benda fisik hingga abstrak, anak secara bertahap juga bisa belajar tentang angka dan huruf. Proses belajar anak tentang angka dilakukan dengan memperlakukan simbol angka sebagai nama benda. Anak perlu sering melihat dan diperlihatkan simbol angka dalam kesehariannya. Ketika sedang melihat simbol angka tertentu (mis: 1), orangtua mengucapkan “satu”. Dari proses semacam ini, anak belajar tentang asosiasi antara lambang yang dilihatnya (1, 2, 3, dst) dengan bunyi yang diucapkan. Walaupun anak belum memahami “makna” angka (satu, dua, tiga, dst), pada tahap ini anak akan bisa “membaca” angka, sama seperti dia bisa mengucapkan nama benda atau huruf. Seiring dengan perkembangan usia dan kesiapan mentalnya, anak akan menggabungkan antara angka dengan pemahaman terhadap hitungan (counting). 4. Membandingkan Selain percakapan mengenai sebab-akibat, menghitung, dan mengenal angka, orangtua perlu menggunakan kosa kata perbandingan dalam cerita dan obrolan bersama anak-anak. Kata-kata perbandingan itu antara lain: besar/kecil, banyak/sedikit, tinggi/pendek, atas/bawah, dan lain-lain.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar